Di atas pesawat Garuda Indonesia, 20 oktober 2016,
Kali ini sambutan mentari pagi yang rupanya mengantarkanku kembali pulang
Kembali pulang menyampaikan kerinduan-kerinduan yang banyak mencuri perhatianku.
Di samping jendela pesawat, aku melihat samar-samar langit bak mencoba merangkul ku
Langit seakan mengerti akan kegundahan hati ini.
Mencoba berbicara dengan gumpalan-gumpalan awan gelap yang seakan enggan menahan hujan, tentang gemuruh percikan petir didalam hati, tentang kesenduan yang menghampiri.
Mencoba berterima kasih dengan lautan dan samudra yang tak bertepi, yang tak hentinya mengingatkanku tentang perjalanan ini yang masih panjang, tentang mimpi-mimpi yang menanti tuk diurai satu demi satu.
layaknya kebanyakan orang lain, aku terlalu sibuk dengan asumsi asumsi hari ini tanpa menghiraukan kehadiran hari esok, asumsi asumsi yang membuatku lupa bahwa kita masih memiliki hari esok untuk memperbaikinya.
“ Akan ada saatnya kelak kamu akan kembali menginjakkan kakimu di tanah, setelah sekian lama kamu terbang. Bukan untuk berhenti dan menyerah, bukan pula tuk tapi untuk mengambil sedikit langkah mundur dan terbang kembali mengejar mimpi”, pesan dari ayah yang selalu menjadi tamparan diri, yang mengajarkanku akan ada saatnya kita dibawah dimana kita akan belajar lebih tegar, ikhlas, dan kuat mempersiapkan diri untuk terbang kembali menyongsong mimpi.
Kalimat itu pula yang menyadarkanku bahwa sejatinya perjalanan adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, dan mengingatkanku tentang titik 0, titik dimana kita memulai segalanya, dan kelak akan kembali menjadi titik akhir dari perjalanan kita. Tiada awal, tiada akhir, tanpa batas, tanpa sudut. Karena inti dari perjalanan itu sendiri adalah untuk “Kembali”.
Mencoba mendefinisikan “Manusia Hebat” yang selalu memunculkan kembali semangat itu.
Yasudahlah, tak baik terlalu lama larut dalam kesenduan. Malu juga sama mbak-mbak pramugari yang sedari tadi mondar-mandir melihat cowok ganteng cemberut di pojokan pesawat.