Surabaya, 15 April 2020
Hari ini adalah hari ulang tahun saya, entah kenapa tulisan yang biasanya saya tulis saat ulang tahun adalah tentang muhasabah diri, atau bahkan membahas apa saja yang sudah capai sejauh ini. Cuman tulisan kali ini adalah hasil pemikiran selama perjalanan saya dari Colombo.
Ya betul sekali, perjalanan saya sepulang dari mengurus perpanjangan SIM di kantor SATPAS.
Sebelumnya mungkin agar lebih dapet ilustrasinya saya cerita sedikit dulu ya. Jadi hari ini hari kedua saya mengunjungi Colombo untuk perpanjangan SIM, kemarin diminta balik karena baru hari ini kartu SIM saya habis. Baik akhirnya hari ini saya kembali lagi. Sebelumnya saya sudah banyak ditawari keluarga, teman maupun orang-orang di depan Colombo untuk pakai calo agar lebih mudah. Tapi jujur saya pingin sekali mencoba untuk mengurus sendiri biar dapet pengalamannya dan mungkin bisa mengkritisi proses/ kebijakan terkait, karena nggak mau jadi rakyat yang kritis tapi belum pernah merasakan pengalamannya sendiri.
Tapi ternyata saya sedikit menyesali keputusan saya untuk mengurus perpanjangan SIM ditengah-tengah pandemi Corona ini, karena ternyata antriannya lebih membludak akibat beberapa minggu kemarin kantor-kantor perpanjangan tutup. Baiklah alhasil di hari ini saya menempuh hampir 6 jam untuk mengurus SIM ini. 3 jam mengantri sambil dijemur di halaman depan,Panas sekali udah terasa seperti kerupuk yang dijemur. Sisanya untuk mengantri pengurusan formulir, foto dan pembayaran didalam. 6 jam menurut saya waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan proses seperti itu, entah bayangan saya kemana-mana ketika bagaimana semisal saya mengiyakan menggunakan calo? bukannya lebih mudah dan bisa lebih cepat? bukankah saya tak perlu menunggu panas-panas berkeringat dan capek seperti tadi?. Bukan berarti saya mendukung adanya calo yaa. Tapi menurut saya sudah menjadi hal lumrah dunia calo percaloan seperti ini dalam berbagai hal yang bisa memudahkan kita.
Lantas saya bertanya lagi, semisal saya menggunakan waktu 6 jam tadi untuk hal lain seperti istirahat di rumah, nonton TV, atau mungkin sekedar bekerja mungkin saya bisa lebih bahagia dari harus berjam-jam mengantre panas-panas. Teringat kembali, bukankah ini sekaligus saya membenarkan kalau sebenernya memang “Money indeed can buy you happiness” , pastinya tetep banyak yang akan menyangkal, nggak dong, karena banyak hal sederhana menyenangkan yang tidak bisa dibeli oleh uang. Saya jadi teringat obrolan dari mbak Prita Ghozie yang bilang kalau sudah ada research dari Harvard Uni yang mengatakan Uang bisa membeli kebahagiaan, mungkin bukan langsung membeli rasa bahagia itu, tapi uang bisa membeli sesuatu yang akan membawa kebahagiaan itu.
Contoh seperti cerita saya diatas, mungkin semisal saya menyetujui untuk pakai calo untuk membantu saya, tentu saya harus membayar lebih untuk jasanya tp saya sudah membeli waktu 6 jam saya untuk bisa saya gunakan untuk hal lainnya, dan 6 jam itu bisa membuat saya lebih bahagia karena tanpa harus saya ikut mengantri lama dan panas-panasan. Sadar atau tidak, sama halnya dengan ketika kita membeli makanan lewat layanan delivery aplikasi Ojol, jelas kita akan membayar lebih untuk jasa deliverynya. Tapi sebenarnya kita juga sedang membeli waktu yang akan terpakai untuk perjalanan membeli dan mengantri yang bisa kita gunakan untuk sekedar menunggu di rumah. Kita sedang membeli kemudahan serta waktu yang bisa membuat kita lebih bahagia daripada harus frustasi ribet berangkat dan mengantri.
Ya tentunya ini juga dampak dari globalisasi, teknologi dan lain-lain yang memudahkan kita untuk bisa mendapatkan segala hal dengan sangat mudah dan instant. Semakin lama rasanya hal ini bisa membuat kita sangat kecanduan dengan kemudahan dan hal serba instant. Dan salah satu indikasinya adalah seberapa sering kita mengecek postingan kita setelah kita posting di sosial media, seberapa sering kita ngecek sudah brapa ya likesnya, komennya, karena likes dan komen bisa jadi bentuk instant gratification buat kita. Apakah ini salah? Yuk cari tau tentang Marshmallow test dulu yuk
Apa itu Marshmallow test?
Marshmallow test adalah test yang dilakukan untuk mempelajari tentang kepuasan yang tertunda/ delayed gratification dengan meninggalkan anak anak dengan marshmallow dalam satu ruangan, meninggalkan mereka dengan permintaan untuk tidak memakan marshmallow tersebut. Hasilnya akan terlihat bagaimana mereka bisa bertahan menunda kebahagian mereka dengan bertahan untuk nggak makan marshmallow itu. Dan ternyata mereka yang berhasil menahan kepuasan yang tertunda itu akan dikaitkan dengan kepribadian dan karakter yang lebih positif. Bayangan saya langsung kepada para koruptor-koruptor yang dengan mudahnya mengambil uang rakyat untuk kesenangan yang sementara, apakah mereka juga hasil dari orang-orang yang terbiasa mendapatkan segalanya dengan mudah dan instant dan menjadi kecanduan dengan instant gratification and happiness. Trus gimana dengan generasi Millennials dan Gen Z kayak kita yang memang sudah terbiasa dengan hal yang instant dan mudah?
Hasil saya membaca artikel di Forbes.com, menyampaikan kalau seperti kita Generasi Millennials dan Gen Z yang terbiasa dengan hal yang serba instant memang akan menjadi berat untuk kita, tapi ternyata ini juga membuat kita menjadi lebih berpemikiran kritis, kreatif dan jadi selalu memaksimalkan resource yang kita punya. Tapi tetap menurut saya kita juga masih perlu belajar untuk terus menghargai proses, kesabaran dan kegigihan kita. yuk sama-sama belajar !