Hari itu, di tahun 2008, mata dan perhatianku tengah fokus pada sebuah buku bacaan yang kubawa kemana-mana. “Ayat-Ayat Cinta”, sebuah mahakarya dari penulis terkenal Ust Habiburrahman El Shirazy menjadi judul buku yang sedang khidmat kunikmati. Aku yang saat itu sedang duduk di bangku kelas 6 SD tak terlalu banyak menyimak kisah percintaan seorang Fahri, di pikiranku hanya selalu terbayang sosok Fahri yang tergambar begitu soleh dan sejuk. Sosok seorang Fahri dengan karismanya, ke solehannya, kesabarannya, serta ketaatannya tergambarkan begitu mengesankan dalam novel maupun filmnya. Dari situlah sedikit demi sedikit mimpiku untuk bisa kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo terajut. Dan mimpi itulah yang mengantarkanku pada perjalananku menimba ilmu di pondok pesantren.
Perjuanganku pun dimulai ketika diri ini menempuh perjalanan pertamaku melintas provinsi dan diantar oleh sanak keluarga. Entahlah, apa yang menjadi dasar keberanian anak umur 12 tahun ini berani berpisah jauh dari keluarganya. Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang terletak di Solo ini menjadi awalmula pejalananku dalam perantauan. Tahun-tahun pertama terasa begitu berat, penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru, kehidupan yang baru jauh dari orang tua dan keluarga. Ketika kehidupan pesantren adalah hal yang baru dalam keluarga kami, perjuangan pula terasa berat bagi orang tua, walaupun cerita-ceritanya pun baru ku dengar beberapa tahun kemudian, tapi beratnya menintipkan anak-anaknya membuat Ibu terus-menerus menangis. Begitupula aku, ketika diri merasakan rindu rumah mungkin menangis adalah jawaban terbaik, tapi untuk menghilangkan rasa malu, menangis di kamar mandi adalah pilihannya.
Walaupun perjalananku di Pondok pesantren berakhir setelah kami lulus MTs (SMP) dan melanjutkan ke salah satu Madrasah Aliyah populer di Malang, tapi ilmu, pengalaman, pelajaran, teman-teman dan kenangan-kenangan selama masa menimba Ilmu di Pesantren masih terngiang sampai saat ini. Terkadang kerinduan akan masa-masa menuntut ilmu di pesantrenlah yang sering kali menghampiri. Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Fiqih, Siroh dan pelajaran-pelajaran lain khas anak pesantren turut mengantarkanku pada perjalanan belajar kemandirian dalam sebuah perantauan.
Di pesantren semua gampang menular, dari penyakit, gaya rambut, gaya penampilan, bahkan hobi. Ketika tamat MTs, kami disuguhkan dengan liburan yang cukup Panjang. Sebagian dari temanku pun memilih mengisi liburan untuk berjalan-jalan, mengingat di pesantren teman kita dari berbagai penjuru Indonesia, dan ini menjadi salah satu manfaat dari menuntut ilmu di pesantren. Sebagian pula memutuskan untuk belajar Bahasa Inggris di kampung Inggris Pare, Jawa Timur. Akupun ikut belajar bahasa Inggris di kampung yang memang terkenal sebagai Kampung Inggris. Darisanalah ketertarikanku dengan bahasa Inggris benar-benar meroket dan perlahan demi perlahan mimpiku untuk melanjutkan menuntut ilmu di negeri timur tengah pun pupus, tergantikan dengan semangatku mengunjungi negara-negara barat yang terkenal sebagai negara maju.
Dan semangat itupun terus berlanjut, terlihat saat bagaimana begitu semangatnya aku mengikuti tes pertukaran pelajar AFS ke Amerika saat di Madrasah Aliyah. Hingga mungkin takdir berkata lain, tersisihnya dari tes pertukaran pelajar membuat semangat itu lebih membara. Kursus bahasa Inggris pun dijalani, mengikuti lomba-lomba dan olimpiade bahasa Inggris, dan menjadi duta bahasa di sekolah adalah caraku menyalurkan semangat dan keinginanku mengunjungi negara maju. Dan semangat itupula yang mengantarkanku melewati masa kegalauanku selepas masa putih abu-abu dan memilih perguruan tinggi.
Sampai akhirnya inilah waktunya, 7 tahun setelah perjalanan mimpi itu dimulai. Aku menemukan diri ini siap terbang menuju perjalanan baru, tapi bukan Mesir yang tertulis di tiket dalam genggaman, namun Melbourne, Australia menjadi tujuanku kali ini. Perjuangan pun dimulai, kuliah di Monash University juga tentu penuh dengan suka dan duka. Penyesuaian diri adalah sebuah pembuka wajib disetiap perjalanan baru dalam perantauan. Kuliah di Melbourne juga memberikanku banyak pengalaman-pengalaman baru, teman-teman baru, serta membuka lebar pikirank. Melbourne yangsangat terkenal dengan kota dengan Cultural Diversity nya yang tinggi, berbagai nationality, religion, dan cultural background berkumpul menjadi satu mengajarkanku tentang sebuah toleransi dan tenggangg rasa. Menuntut ilmu jauh dari tanah air juga mampu meningkatkan rasa nisionalisme diri dan kecintaan pada tanah air, dengan keikutsertaanku pada PPIA dan PASKIBRA KJRI Melbourne. Serta kuliah jauh dari keluarga memkasku untuk mengatur segala macam keungan dan menjadi mandiri dengan menyisihkan waktuku untuk bekerja part time.
Setiap perjalanan pastinya butuh perjuangan dan tentunya melahirkan cerita nya masing-masing. Mungkin Al-Azhar University, Kairo ataupun Timur Tengah belum menjadi salah satu perjalananku sampai saat ini, atau mungkin memang ada jalan lain yang sudah disiapkan Allah untuk aku jalani kelak nanti. Yang pastinya Semangatku untuk tetap merantau akan selalu ada, mengingat setiap bait dalam syair Imam Syafi’ie yang terus terngiang di kepala ;
Merantaulah…-
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang).
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
(Cuplikan Syair Imam Syafi’ie)