Jakarta, Maret 2019
“PENJAGAA!!, PENJAGAA!!” teriakan yang membubarkan lamunanku, mengingatkan kembali sedang dimana aku berdiri saat itu. suara teriakan itu terdengar semakin kencang. Ternyata seoarang bocah laki-laki sedang berlarian mengarah padaku.
Bangunan tinggi berpucuk emas yang sangat terkenal itu, rupanya aku sedang berdiri di area luar pintu masuk Monumen Nasional. Kota Jakarta, sudah lebih dari 8 bulan semenjak kepergianku merantau ke Ibu kota ini, belum sekali pun aku menceritakan perasaanku kepada kota yang ramai ini dalam tulisan. Hari ini akan kuceritakan perasaanku tentang kota yang memiliki banyak cerita bagi kebanyakan orang. Dari aku seorang perantau yang mengejar kesempatan di ibu kota Jakarta.
Barisan pedagang-pedagang itu mendadak menjadi semburat. Mulai dari penjual cilok, tahu bulat, mainan, minuman, sampai apapun semua semula berbaris rapi menunggu pembeli datang. Jakarta tempat banyak perantau datang dari berbagai daerah, menggantungkan asa mengejar cita-cita di kota besar ini. Jakarta sebagai ibu kota yang lengkap dengan segalanya, perkantoran, pusat perekonomian, politik serta penghidupan, tak heran berbondong-bondong orang mengadu di kota ini. Bagi mereka, tak apalah hanya menjadi penjual tahu bulat, tak apalah hanya menjadi cilok tapi aku bisa menghasilkan penghasilan untuk hidup.
“ADUUH ADA ADA AJA”, kali ini suara mengeluh datang dari Ibu penjual gulali dan arum manis didepanku. Seketika itu pula Ibu itu membereskan semua barang-barang jualannya dan ikut semburat bersama penjual-penjual lainnya. Oh ternyata itu tadi sebuah kode datangnya petugas Satuan Polisi Pamong Praja atau lebih sering kita kenal sebagai Satpol PP. Turun bapak-bapak berseragam rapi di hari Sabtu yang seharusnya menjadi hari libur. Sayangnya, kali ini keberuntungan bukan milik bapak-bapak Satpol PP ini, mereka datang di waktu yang tidak tepat.
Kembali ku berjalan memasuki area Monumen Nasional ini. Ramai tentunya, salah satu landmark terkenal yang menandakan bahwa kita sedang benar-benar ada di ibu kota Jakarta. Ia tinggi menjulang, terletak di jantung ibu kota di tengah- tengah kota Jakarta. Semenjak kedatanganku pertama kali di kota ini, aku pun tahu perjalanan kali ini mungkin akan lebih menantang. Sebuah fase hidup yang baru, tanggung jawab lebih besar, perjuangan lebih berat. Jakarta mengajarkanku banyak hal, salah satunya adalah untuk tetap dan selalu berjuang. Karena sejatinya setiap dari kita adalah pejuang dari perang kita masing-masing.
Jakarta mempertemukanku dengan banyak yang ku sebut sebagai “Manusia Kuat”, mereka yang masih berjuang dan akan terus berjuang. Seperti kamu, aku, dan siapapun yang masih terus berjuang dalam perjalanan kita masing-masing. Kepergianku ke Jakarta seakan mengingatkanku untuk menjadi sesorang yang kuat, seperti kata Tan Malaka “Terbentur, terbentur, terbentur, Terbentuk”. Bermula dari terbentur, terbentur, terbentur dan kita akan terbentuk menjadi sosok yang lebih kuat, sosok yang lebih berani. Mungkin ini saatnya aku membenarkan perkataan- perkataan orang tentang kota yang sibuk ini, “Jakarta Keras!, Hati-hati di Jakarta”. Tentu setiap orang berhak mengartikan kalimat “Jakarta it Keras” berbeda-beda. Bagiku, tentunya kota ini keras dari caranya seakan orang-orang sedang berlomba untuk berdiri tegak. Bagaikan Gedung yang berdiri tegak, berlomba ber-kokoh kokoh ria seakan menolak untuk berpadu menjadi satu.
Jakarta juga punya banyak cerita, yang selalu menjadi sorotan dan perbincangan di berbagai media. Kali ini cerita- ceritaku pun banyak tertulis di kota ini. Seperti novel dari Mochtar Lubis “Senja Di Jakarta” cerita tentang kehidupan di Jakarta dari sisi orang-orang yang berbeda. Jakarta oh Jakarta.
Terima kasih untuk pelajaran yang berharga dan cerita-cerita yang beragam.
Untuk kita yang sedang berjuang, terima kasih sudah berjuang, sampai saat ini.