Kukira Aku Kupu-Kupu

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Melbourne, 14 Mei 2018

Dalam pelukan suhu 13 derajat Celsius, matahari tetap menampakkan sinarnya namun udara dan angin dingin tak henti melawan dan mencoba meredupkan kegembiraanku hari ini. Siang hari ini ku tuntun ayah dan ibu  untuk pertama kalinya mengunjungi kampus tempat perjuanganku dalam perantauan yang lebih jauh ini kulalui, dan tempat cerita-cerita tentang perjalananku pun tercatat manis untuk menjadi kenangan dan diceritakan kelak. Mengingat pula ini juga pertama kalinya mereka menemaniku di kota yang penuh banyak kenangan, kota yang kerap dijuluki “Most Live-able city in the world”. Begitu senang dan bangga rasanya akhirnya ku diberi kesempatan untuk sedikit menceritakan sambil menapak tilas kehidupan di kota yang ku titipkan sebagian dari hatiku.

Tepat ketika semua ini bermula, aku yang baru lulus SMA menguatkan tekad untuk ingin melanjutkan Pendidikan menyebrangi benua menuju negara kangguru. Aku yang saat itu kagum dengan analogi dan filosofi dari seekor kupu-kupu dan menganggap aku adalah wujud dari kepompong yang siap berubah menjadi kupu-kupu dan terbang menjelajahi dunia lebih jauh. Setelah melalui masa ulat dan kepompong dalam perantauanku selama 6 tahun di pondok pesantren dan asrama. Sebuah pelatihan kemandirian, pergaulan, Pendidikan beragama dan membangun fondasi iman dan karakter diri. Dan saat itu adalah waktuku untuk terbang menjadi kupu-kupu melihat dunia lebih jauh  dan menebar keindahan dengan menantang diri untuk melangkahkan kaki lebih jauh lagi.

Kesedihanku saat itu bermula ketika ayah dan ibu belum bisa mengantarkanku pertama kali untuk memulai perjalananku di tempat yang jauh dari rumah, dan rencana pun tergantikan dengan om dan tante yang akan mengantarkanku. Seminggu sebelum keberangkatan hati menjadi cemas ketika visa om dan tante belum juga turun, dan tempat tinggal belum juga dapat. Aku yang cemas lantas memunculkan berbagai spekulasi spekulasi buruk dalam pikiran, dan hingga hari itupun datang, ketakutanku pun menjadi nyata. Aku yang pertama kalinya terbang jauh keluar negeri sendiri, menyebrangi benua tanpa pernah mengunjunginya sebelumnya, tidak tau bagaimana bentuk Melbourne atau Australia. Aku yang tak kenal siapa-siapa disana, tak ada teman bebarengan pada saat itu melawan ketakutan dan memberanikan diri untuk tetap berangkat memulai perjalanan sebuah perantauan.

Sepanjang waktu perjalananku di Melbourne tak luput setiap saat keinginanku untuk mengajak orang tua dan keluarga untuk mampir menjengukku disini, sekedar ingin menunjukan mereka tentang kampus tempat perjuanganku, atau tentang kegiatan- kegiatanku disini, tentang pekerjaan part-time, kesibukan dalam organisasi maupun tentang bagaimanaku mengatur waktu. Dan ternyata cerita-cerita itu Cuma bisa ku sampaikan melalui telpon disela-sela waktu kosongku, hanya melalui kata-kata yang belum bisa menggambarkan semuanya. Terkadang sedih rasanya memikirkannya, tapi keyakinanku akan lebih baik menyimpan semuanya untuk kelak rasa yang lebih membanggakan dan menggembirakan pada waktunya tetap menguutakan diri untuk menjalani dan menyelesaikan perjuanganku. Teringat tak jarang kudapatkan respon aneh antara bingung dan kaget dari teman maupun orang tua teman yang bertanya kapan orang tua terakhir menjenguk, dan jawabanku adalah “belum dan sejak pertama disini aku pun berangkat sendiri”. Karena kebanyakan dari mereka yang mungkin masih mengambil S1, mereka berangkat diantar dan keluarganya pun sering menghabiskan waktu liburan untuk menjenguk dan berlibur di Melbourne.

Hingga dipenghujung perjalananku pun aku menyadari bahwa selama ini yang kukira aku adalah sesosok kupu-kupu pun berubah. Perjalananku yang jauh dari keluarga dan rumah yang turut serta memaksaku untuk hidup dalam kemandirian ketingkat yang lebih tinggi menyadarkanku bahwa aku adalah sosok elang yang selalu siap mencari mangsanya yang selalu siap terbang jauh melanglang untuk berpindah dan mencari mangsanya. Karena elang yang hanya diam tak akan pernah dapat mangsanya. Dan mangsanya adalah ilmu dan pengalaman, seseorang yang tak berani meninggalkan zona nyamannya belum tentu bisa dapat ilmu dan pengalaman yang lebih. Di penghujung perjalananku ini pula aku mampu melihat kembali kebelakang, melihat segala perjuangan dan kisah yang berbuah pengalaman-pengalaman menarik yang mungkin tak akan kudapatkan jika aku tak memberanikan diri dan melawan ketakutanku. Karena “Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan hidup asing” beitulah kutipan kata Mutiara dari Imam Syafi’ie.

Hari ini, di hari yang begitu bahagia, salah satu impianku pun tercapai. Mengajak ayah dan ibu menemaniku menghadiri sebuah ceremonial yang menandakan akhir dari perjalananku ini. Bukan masalah ketika kesempatanku ini hanya di akhir. Tapi menuntun mereka dengan rentetan rentetan kisah yang tak habis kuceritakan mampu memunculkan senyum dan kebanggan pada wajah mereka adalah rasa kebanggaan pula dalam diri sendiri. Mungkin masih aka nada perjalanan-perjalanan dan kisah-kisah lain yang akan kutulis dikemudian hari. Membuat orang tua bangga dan bahagia selalu menjadi mimpi dan prioritas utama seorang anak. Maka dari itu, sebagai penutup tulisan ini, izinkanku mengucapkan terima kasih untuk Ayah dan Ibu dan mbak, dan adek-adek yang selalu mengingatkan untuk tetap kuat dan melihat kebelakang menengok seberapa jauh perjalanan dan usaha ku untuk itu semua.
Terima kasih pula untuk teman-teman dan semua orang yang sudah berbagi dan mengisi cerita-ceritaku selama perjalananku ini, terima kasih sudah menjadi pengganti keluarga yang jauh pada saat itu, terima kasih untuk selalu ada.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Alvin Bramanta Molik B.IB

Tags: