Belakangan ini saya lagi sering main aplikasi poker. Tenang aja, bukan buat judi kok, cuma seru-seruan belajar cara baca psikologi lawan dan juga sekalian introspeksi diri. Dari pengalaman ini, saya tiba-tiba keinget salah satu teori yang dulu diajarin waktu kuliah S1 Microeconomics, yaitu Game Theory. Teori ini banyak dikenal lewat konsep “Prisoner’s Dilemma,” dan biasanya juga diterapin di bisnis buat ambil keputusan strategis. Awalnya teori ini sebenernya matematika banget, tapi nyatanya bisa dipakai di berbagai bidang, mulai dari bisnis sampai politik.
Apa itu Game Theory dan Prisoner’s Dilemma?
Game Theory itu sederhananya adalah teori yang mempelajari gimana orang-orang atau pihak tertentu membuat keputusan dalam situasi tertentu yang melibatkan pihak lain. Jadi, fokusnya tuh bukan cuma ngambil keputusan buat diri sendiri, tapi sambil mempertimbangkan apa yang mungkin dilakukan lawan atau partner. Salah satu contoh paling terkenal dalam teori ini adalah Prisoner’s Dilemma.
Ceritanya ada dua orang tahanan yang ditangkap dan diinterogasi secara terpisah. Mereka punya dua pilihan: tetap diam atau mengkhianati temannya. Kalau dua-duanya diam, mereka dapat hukuman ringan. Kalau salah satu mengkhianati dan temannya tetap diam, yang mengkhianati bebas sementara temannya dihukum berat. Tapi kalau dua-duanya saling mengkhianati, mereka kena hukuman sedang. Sekilas, diam aja keliatannya kayak strategi terbaik. Kalau dua-duanya melakukan ini, mereka tidak akan dipenjara. Masalahnya, tiap tersangka nggak tahu apa yang bakal dilakukan tersangka lain karena mereka ada di sel terpisah
Jadi, Prisoner’s Dilemma ini menunjukkan gimana kadang keputusan terbaik secara individu (mengkhianati) malah bisa bikin kondisi lebih buruk buat semua pihak.
Game Theory di Kehidupan Sehari-hari
Setelah main poker dan kepikiran teori ini, saya sadar bahwa konsep Game Theory sebenernya bukan cuma berlaku di permainan atau bisnis aja. Di kehidupan sehari-hari pun kita nggak pernah lepas dari interaksi sama orang lain—baik keluarga, teman, pasangan, atau kolega. Tiap keputusan dan respons kita dalam hubungan pasti dipengaruhi sama asumsi tentang orang lain, dan begitu juga sebaliknya. Lama-lama interaksi kayak gini jadi membentuk pola yang mirip dengan strategi dalam teori game.
Penelitian Robert Axelrod dan Turnamen Strategi
Dari rasa penasaran, saya lanjut cari-cari informasi dan nemu video dari Veritasium di YouTube. Di situ dibahas penelitian Robert Axelrod, seorang peneliti yang bikin turnamen pemrograman buat menguji konsep Game Theory untuk jangka panjang (200 kali). Di turnamen ini, dia meminta para peneliti untuk mengirim strategi terbaik mereka dalam permainan Prisoner’s Dilemma yang dimainkan berulang-ulang.
Axelrod menemukan berbagai jenis strategi: ada yang selalu menyerang dari awal, ada yang nggak pernah menyerang, ada yang cuma menyerang kalau diserang duluan (tit-for-tat), dan ada juga strategi yang menyerang secara acak. Beberapa strategi yang paling dikenal adalah:
Tit-for-Tat: Dimulai dengan kerjasama dan selanjutnya ngikutin langkah terakhir lawan. Strategi ini bikin lawan mau kerjasama lagi dengan menghukum yang membelot, tapi tetap ngasih kesempatan buat balik kolaborasi.
Grudger: Di strategi ini, kepercayaan itu mahal dan gampang hilang tapi susah balik lagi. Awalnya, Grudger mulai dengan kerjasama. Tapi kalau lawan sekali aja membelot, Grudger bakal terus membelot sampai game selesai. Ini jadi bentuk hukuman keras buat pengkhianatan.
Zero-Tolerance: Mulai dengan kerjasama di langkah pertama, tapi ada sistem hukuman kalau lawan membelot. Kalau lawan sekali aja nggak kooperatif, Zero-Tolerance bakal balas dengan membelot selama beberapa ronde tertentu. Ini kayak kompromi antara hukuman keras kayak Grudger dan maaf-maafan kayak Tit-for-Tat.
Tester: Strategi ini kayak Tit-for-Tat tapi lebih curigaan. Di awal, dia langsung ngetes lawan dengan membelot. Kalau lawan tetap kooperatif, Tester langsung ikut kerjasama. Tapi kalau lawan ikut membelot, Tester terus-terusan balas membelot juga. Ini strategi buat ngedorong kerjasama tapi nggak mau dimanfaatin di awal.
Random: Strategi ini nggak peduli sama kepercayaan atau keuntungan jangka panjang. Di setiap ronde, dia bebas milih antara kerjasama atau membelot secara acak. Karena nggak ada ingatan dari interaksi sebelumnya, strategi ini nggak bisa ditebak sama sekali.
Hasil Turnamen
Setelah semua game selesai, hasilnya dihitung dan leaderboard pun dibuat. Hal yang mengejutkan, program paling simpel malah menang—yaitu Tit-for-Tat.
Waktu Tit-for-Tat lawan Grudger (yang disebut “Friedman” di gambar atas), mereka berdua mulai dengan kerjasama penuh dan hasilnya sempurna. Tapi pas lawan Joss (strategi mirip Tit-for-Tat tapi sengaja membelot 10% dari waktu), awalnya mereka kerjasama, tapi kemudian gantian antara kerjasama dan membelot setelah Joss pertama kali membelot. Pola ini mirip sama dinamika politik di dunia, di mana aksi satu pihak dipengaruhi oleh aksi pihak lain.
Tit-for-Tat vs. Joss
Ketika Joss membelot lagi tanpa alasan, kedua program mulai saling membelot sampai game selesai. Ini mencerminkan beberapa situasi politik atau konflik pribadi di mana aksi tertentu memicu balasan dari pihak lain.
Setelah menguji banyak strategi, Axelrod menemukan pola bahwa ada empat sifat utama dari strategi yang sering menang: Nice, Forgiving, Clear, dan Don’t be a Pushover.
- Nice (Baik)
- Strategi ini nggak pernah memulai serangan duluan. Mereka selalu memulai dengan kebaikan.
- Forgiving (Memaafkan)
- Kalau diserang, strategi ini membalas, tapi kemudian memaafkan dan nggak terus-menerus menyerang.
- Clear (Jelas)
- Pola tindakannya konsisten dan bisa diprediksi. Jadi, lawan tahu konsekuensi dari tindakannya.
- Don’t be a Pushover (Nggak Lemah)
- Walaupun baik dan memaafkan, strategi ini tetap tegas dan nggak membiarkan dirinya diinjak-injak.
Noise dalam Interaksi dan Pengaruhnya
Tentu, kehidupan nyata nggak selalu sesederhana hitam dan putih. Dalam penelitian lanjutan, Axelrod menambahkan elemen yang disebut Noise—yaitu gangguan-gangguan kecil dalam strategi, seperti asumsi yang salah, faktor eksternal, atau miskomunikasi. Bahkan dengan adanya noise, strategi-strategi dengan kepribadian baik seperti Nice, Forgiving, Clear, dan Don’t be a Pushover tetap terbukti unggul dalam jangka panjang. Sementara itu, strategi yang suka menyerang atau nggak mau memaafkan cepat atau lambat akan kalah dan gagal.
Pelajaran dari Game Theory untuk Kehidupan Sehari-hari
Dari sini, kita bisa ambil pelajaran yang relevan buat interaksi sehari-hari. Menjadi pribadi yang baik, memaafkan, jelas, dan tegas bisa membantu kita membangun hubungan jangka panjang yang sehat. Selain itu, penting buat mengurangi noise dalam interaksi dan komunikasi—misalnya, mengurangi asumsi berlebihan dan fokus pada komunikasi yang jelas dan asertif.
Kalau dipikir-pikir, empat kepribadian unggul ini juga mirip dengan sifat-sifat yang dianjurkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW: selalu berbuat baik, pemaaf, tegas tapi tidak kasar, dan jelas dalam perkataan serta tindakan. Dalam Islam, bersikap baik dan memaafkan sangat dianjurkan, seperti dalam QS. Al-A’raf: 199, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Winning the Battle is Not Always Winning the War
Video Veritasium itu ditutup dengan sebuah quotes yang menurut saya cukup dalam: “Winning the battle is not always winning the war.” Di sini, war berarti sesuatu yang sifatnya jangka panjang, bukan sekadar kemenangan kecil dalam satu situasi. Contohnya, dalam pertengkaran sama pasangan, mungkin kita bisa “menang” dengan nggak mau ngalah dan mempertahankan ego. Tapi kalau terus-terusan kayak gitu, hubungan pernikahan kita yang jangka panjang justru bisa rusak.
Pada akhirnya, Game Theory mengajarkan bahwa kebaikan bukan hanya pilihan moral, tapi juga strategi terbaik dalam jangka panjang. Karena menang dalam hidup bukan soal siapa yang selalu menang debat atau argumen, tapi siapa yang bisa mempertahankan hubungan dan kebahagiaan dalam jangka panjang.
Source video :
Video dari Veritasium (Bahasa Inggris)
Rangkuman Bahasa Indonesia dari The Overpost